Cublak-cublak suweng,suwenge teng gelenter,mambu ketundhung gudhel,pak empo lera-lere,sopo ngguyu ndhelikake,Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.
Lirik
lagu diatas adalah lagu yang biasa dinyanyikan dalam permainan
anak-anak di Jawa pada saat saya masih kecil. Saya masih sangat ingat,
saat itu, kira-kira kami ber tujuh. Satu orang dalam posisi telungkup
menutup mata, dan kami berenam duduk bersimpuh mengelilingi yang
telungkup dengan tangan diatas punggungnya. Salah satu dari kami
menyembunyikan batu kerikil yang akan ditebak oleh teman yang telungkup
tadi.
Sebuah
permainan yang biasa saya mainkan bersama teman-teman pada sore hari
atau pada waktu sinar bulan terang menyinari kampung kami.
Sepertinya
sederhana dan biasa. Hanya sebuah lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak
sebagai pengiring permainan. Namun dalam perjalanan setelah saya
menyelami budaya Jawa, terutama pada waktu saya menggali literature serat Wulang Reh(yang akhirnya jadi buku Javanese Wisdom), dan juga Serat Niti Sruti (sedang
saya persiapkan jadi sebuah buku baru seri Javanese Wisdom), mau tidak
mau saya bersentuhan dengan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
filosofi Jawa.
Memang
ada beberapa versi lirik lagu Cublak-cublak Suweng ini. Beberapa daerah
di Jawa mungkin mempunyai sedikit perbedaan dalam liriknya. Yang saya
tuliskan disini adalah versi saya pada saat saya masih kecil
menyanyikannya, dan tentunya saya masih hapal sampai sekarang.
Lagu ini, entah siapa yang menciptakan (saya tidak akan berpolemik siapa yang menciptakan, karena banyak versi tentang hal tersebut),
bagi saya siapapun yang menciptakan telah menciptakan sebuah lirik
filosofi kehidupan yang sangat dalam dan sarat akan pelajaran kemuliaan.
Saya
akan mencoba menyelami arti filosofi dari lagu Cublak-Cublak Suweng ini
secara bebas. Artinya saya akan bebas mengartikannya sesuai kesadaran
saya saat ini dan sesuai dengan pemahaman saya atas ‘sanepo’ atau lambang yang sering digunakan oleh orang Jawa. Ya orang Jawa banyak menggunakan lambang untuk mengajarkan sesuatu.
Cublak-cublak suweng,Cublak adalah tempat, dan Suweng adalah nama salah satu jenis perhiasan wanita (harta yang sangat berharga). Dalam lirik pertama digambarkan bahwa ‘ada sebuah tempat dimana tempat tersebut menyimpan harta yang sangat berharga’
Suwenge teng gelenter,Suwenge adalah nama jenis perhiasan tersebut atau harta yang sangat berharga tersebut. Teng Gelenter adalah berserakan dimana-mana, terdapat dimana-mana, ada disemua arah penjuru.
Mambu ketundhung gudhel,Mambu adalah tercium. Ketundhung adalah dituju. Gudhel adalah
sebutan anak Kerbau. Tercium yang kemudian dituju oleh anak Kerbau.
Lirik ini menggambarkan adanya sebuah kabar yang didengar oleh orang
bodoh atau orang yang tidak tahu (digambarkan sebagai Gudhel) . Orang-orang yang tidak tahu ini mendengar sebuah kabar yang kemudian menuju ke arah kabar tersebut.
Pak empo lera-lere,Pak empo adalah gambaran dari orang-orang bodoh tersebut. Lera-lere adalah
tengak-tongok kiri kanan. Lirik ini menggambarkan bahwa orang-orang
bodhoh tersebut hanya tengak-tengok kiri-kanan tidak tahu apa-apa.
Sopo ngguyu ndhelikake,Sopo ngguyu adalah siapa yang tertawa. Ndhelikake adalah
menyembunyikan. Lirik ini menggambarkan bahwa ada yang menyembunyikan
sesuatu dan tetap tertawa. Artinya ia tertawa bahwa tahu ada sesuatu
yang disembunyikan.
Sir-sir pong dele kopong,Pong adalah pengulangan kata dari dele kopong. Dele kopong adalah
kedelai yang kosong tidak ada isinya. Lirik ini menggambarkan tentang
kekosongan jiwa, kekosongan pikiran, kekosongan ilmu, dan juga Orang
yang banyak bicara tapi sedikit ilmunya. Sedangkan Sir artinya hati nurani. Sir disini merupakan jawaban dari pertanyaan pertama diatas.
Mari kita rangkai lagu ini secara utuh:
Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter, mambu ketundhung gudhel, pak empo lera-lere, sopo ngguyu ndhelikake, Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.
Kemudian mari kita maknai secara utuh agar kita mendapatkan keutuhan dari filosofi lagu ini:
Ada sebuah tempat, dimana tempat tersebut menyimpan harta yang sangat berharga (Cublak-cublak suweng). Namun walaupun ada tempatnya, harta yang sangat berharga tersebut tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana (suwenge teng gelenter).
Disini
menjadi sebuah pertanyaan awal: bila ada sebuah tempat dan tempat
tersebut menyimpan harta sangat berharga, sedangkan harta itu sendiri
tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana. Tempat manakah itu? Tempat
yang menyimpan harta namun hartanya terdapat dimana-mana. Lha kan aneh?
Hartanya tersimpan disebuah tempat namun harta tersebut juga berada
dimana-mana.
Sang penulis lagu ini sedang membeberkan konsep ‘keberlimpahan’ menjadi sebuah lagu sederhana.
Mari kita cermati lebih lanjut. Suwenge teng gelenter yang menggambarkan bahwa harta yang sangat berharga tersebut tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana adalah sebuah gambaran keberlimpahan hidup.
Disekeliling kita, kanan kiri atas bawah terdapat harta tersebut. Tentu
saja ini sebuah berita yang mengejutkan bagi sebagian orang yang disini
digambarkan sebagai ‘Gudhel’: Benarkah keberlimpahan hidup tidak jauh dari kita? Masak sih? Dimana tempatnya sehingga aku bisa mudah mengambilnya?
Berita tersebut memicu orang-orang bodoh, orang-orang berpengetahuan sempit (mambu ketundhung gudhel)
untuk bergegas mencarinya. Mereka karena tidak dibekali pengetahuan
jiwa maka walaupun banyak yang merasa menemukan harta yang mereka anggap
berharga, tetap saja mereka masih merasa kurang dan selalu menengok
kiri-kanan (pak empo lera-lere). Kesuksesan,
materi, nama besar, jabatan, yang semua itu dianggap keberlimpahan tetap
saja mengakibatkan bingung dan tidak puas. Mereka masih ‘pak empo lera-lere’. Pak empo lera-lere juga dapat menggambarkan penderitaan dari orang-orang bodoh yang merasa menemukan keberlimpahan tersebut.
Dibalik
semua itu, ada orang-orang yang sudah menemukan keberlimpahan. Mereka
yang sudah menemukan harta yang sangat berharga tersebut, melihat
orang-orang yang selalu mengejar keberlimpahan palsu, mereka hanya
tertawa saja (sopo ngguyu ndhelikake). Mereka tertawa seakan-akan menyembunyikan rahasia: eh bukan itu lho! Itu palsu! Itu hanya ilusi dunia!
Lalu yang terakhir, orang-orang bodoh ini, para Gudhel ini
yang kemudian malah berkoar-koar sudah menemukan. Mereka banyak bicara,
bahkan mengajarkan cara untuk menemukannya. Padahal ‘dele kopong’, dele kopong yaitu yang banyak bicara adalah orang tak berisi. Dele kopong bila dalam peribahasa Indonesia adalah Tong kosong nyaring bunyinya.
Konsep
keberlimpahan hidup dalam lagu Cublak-cublak Suweng ini sangat
istimewa. Orang-orang bodoh selalu mencarinya keluar dari dirinya (mambu ketundhung gudhel) sehingga ia tetap merasa bingung dalam hidup (pak empo lera-lere). Sementara orang bijaksana (sopo ngguyu ndhelikake) menyadari bahwa tempat rahasia (cublak) yang merupakan tempat menyimpan harta sangat berharga (suweng) yang sekaligus membuat harta tersebut tersebar dimana-mana (suwenge teng gelenter) ada di dalam ‘Sir‘ (kata pertama dalam kalimat sir sir pong dele kopong), Sir adalah hati nurani manusia!
Di lain daerah (diingatkan oleh sahabat saya, mas Ronggo Sutikno dari Jawa Timur), lirik terakhir ada yang berbunyi demikian:
Sir sir pong udele bodong, sir sir pong udele bodong
Lirik ini juga merupakan sebuah nasehat atau ‘jalan’ istimewa untuk menemukanCublak itu tadi. Bagaimana caranya menemukan tempat bagi harta yang sangat berharga tersebut? Yaitu sir pong udele bodong!
Sir adalah Hati Nurani, sedangkan pong udele bodong adalah sebuah ‘sasmita’ atau gambaran tentang wujud yang tidak memakai apa-apa sehingga udel atau
pusarnya kelihatan. Telanjang atau orang yang tidak memakai artibut
apa-apa adalah orang sederhana, rendah hati, mengedepankan rasa dan
selalu memuliakan orang lain. Yang akan menemukan ‘Cublak’ tersebut
adalah orang yang polos, tidak memakai atribut, tidak memakai ego
kepemilikan dan kemelekatan, dan itu bukanlah para Gudhel! Ia sekali lagi adalah para pong udele bodong, yaitu orang-orang polos, sederhana, dan bersih hatinya.
0 comments:
Post a Comment